Mangku
Nama saya Mangku dan saya berumur 78 tahun, saya menikah
dan saya memiliki 9 anak, 5 laki-laki dan 4 perempuan berusia 21 sampai 40
tahun. Saya suku Iban dan suku Iban sampai hari ini masih memiliki tradisi yang
kuat yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat lain di negara ini.
Tapi itu tidak selalu terjadi, karena masa lalu kami dengan cap yang jelek ,kami
ditakuti karena masa lalu, kami adalah pemotong kepala
Ketika aku masih kecil ayah saya sering bercerita
tentang pemotong Kepala. Selain itu, kakek saya adalah pemotong kepala Asli,
katanya dengan senyum ditutup-tutupi!
Rumah besar, di mana saya tinggal pada waktu yang
lalu masih penuh tengkorak manusia ... Tapi
Anda jangan khawatir karena kita sudah melenyapkanya dan membuangnya , kata dia
ironis.
Mangku
Saya lahir di sebuah Rumah
Betang, sangat besar, dengan 78 Pintu yang berdiri di bukit tidak jauh dari
sini. Keturunan dari rumah panjang ini saat ini menghuni desa yang terpisah
yaitu Kepiat, Jaong 1 dan Jaong 2.
Saya datang ke sini 40 tahun
yang lalu ketika saya masih 38 tahun dan kami telah membangun desa Jaong,
pertama rumah panjang, dan dengan perkembangan penduduk yang bersebelahan
rumah.
Mangku
Semua orang yang tinggal di rumah ini adalah bagian dari
keluarga saya .
Tinggal di rumah panjang awalnya sebuah sistem yang
memungkinkan untuk melindungi diri , pada saat yang lalu tradisi pemotongan
kepala , hari ini kita terus hidup seperti ini karena bisa hidup lebih harmonis
dan lebih mudah untuk mengurus keperluan .
Jika seseorang meninggal , misalnya , seluruh keluarga
sudah di tempat untuk mengatur dan menghadiri pemakaman .
Mangku memasuki Rumah betang dan istrinya
"singah" membantu salah satu putri dapur .
Mangku
Saya tidak pernah sekolah karena pada saat itu ada yang
tidak ada , bahkan walaupun saya sudah tua , saya selalu menyesal tidak
bersekolah , bayangkan jika saya dahulu kala bersekolah, aku mungkin bisa
menjadi Presiden Republik !
Tapi tanpa itu hidup saya masih senang saya membangun
perahu , saya adalah seorang pemburu yang sangat baik dan seorang nelayan yang
baik ... Bahkan aku selalu dapat hidup dan menghidupi keluarga saya dengan
benar .
Mangku
Saya mantan kepala desa , selama 3 periode , 1 periode berlangsung selama lima tahun di sini dan setiap kali saya terpilih dengan mudah ... Beberapa calon kepala desa lain,ada yang bersekolah tinggi , namun setiap kali saya bisa mengalahkan !
singah
Aku singah , berusia 55 tahun . Kami menikah dgn Mangku selama hampir 40 tahun ... Seperti yang Anda lihat , cinta kita utuh , ke mana-mana,saya ikut suami saya, yang jauh dari kebiasaan perempuan desa lainnya terhadap suami mereka . Tapi aku selalu membutuhkannya setiap saat , ibu singgah tersenyum dan sedikit malu !
Urutan 3 persimpangan Manku dan Hula
Mangku kembali dari memancing dan memanggil Hula dan meminta dia untuk pergi mencari garam untuk mengeringkan ikan nya , Hula membeli garam dan membantu pak Mangku mencoba untuk memotong ikan nya .
Hula
Saya orang Malaysia kami tiga orang asing di desa , tiga warga Malaysia , dua wanita dan seorang pria . Saya berumur 16 tahun dan saya telah menikah selama kurang lebih satu tahun dengan salah satu cucu pak Mangku . Ketika saya tiba di sini pada bulan November 2012 adaptasi tidaklah mudah .
Pertama , karena saya tinggal di Malaysia dengan orang tua saya di kota dimana ada lebih dari 50.000 penduduk . Dan aku tidak pernah meninggalkan kota ini , kami memiliki semua kenyamanan modern di sana ... Jadi bayangkan shock yang saya alami ketika saya menemukan Jaong , mengetahui bahwa aku harus tinggal di sana secara permanen !
Tapi kontak saya dengan orang-orang tidak mudah , bukan bahwa mereka menolak saya , sebaliknya mereka semua sangat baik, ramah dan perhatian , waktu pertama tama adalah kendala bahasa yang berbeda dan saya kurang paham.
Sekarang jauh lebih mudah , saya menguasai bahasa dengan benar Iban di sini dan saya membuat banyak teman-teman dan saya merasa lebih menjadi anggota keluarga dan saya percaya bahwa saya dianggap a Iban penuh.
Satu-satunya kekhawatiran , bahwa aku tidak benar-benar senang adalah bahwa saya merindukan keluarga saya , terutama ibu saya dan saya belum melihat sejak kedatangan saya di sini!
Mangku (
ITW berperahu di sungai )
Kami
selalu dekat dengan alam , beberapa
legenda telah mewarnai tradisi kami , yang utama adalah " Burung Hantu dan
Bulan . "
Awalnya ,
ketika dunia itu datar dan kosong , itu dihuni oleh Burung hantu dan Bulan yang
naik . Mereka
menikah atas permintaan bulan .
Burung
hantu melahirkan anak yang cantik , anak laki-laki . Dia bersinar seperti bulan
.
Setelah
empat tahun , bulan diminta untuk kembali ke surga tetapi menolak burung
hantu sebagai alasan dia tidak akan
cukup surga makanan yang baik . Mereka berjuang dan akhirnya bercerai .
Bulan kemudian
menuntut untuk membawa anaknya dengan dia di surga . Burung hantu menolak .
Setelah pertengkaran yang panjang , mereka memutuskan , atas saran Bulan ,
putra mereka dipotong dua .
Bulan
dan membawa mereka ke surga , bagian atas anak , Burung hantu terus di bumi
bagian bawah . Tiba di langit , bulan dipotong kecil-kecil setengah masa
kecilnya . Potongan-potongan ini menjadi bintang .
burung
hantu di bumi melakukan hal yang sama dan menjadi lagu segala macam tanaman dan
pohon .
Mangku
(pasar desa Jongkong)
Anda
lihat, aku tidak perlu khawatir saya bisa menjual ikan dengan baik, kami tidak
memiliki masalah dengan kelompok etnis lain, sebaliknya, solidaritas antara
semua orang dari wilayah tersebut.
Terutama
karena kita Iban, kami memiliki bentuk panjang isolasi karena hidup kita di
hutan pertama, tetapi tradisi yang kuat kami yang masih bertahan saat ini,
tidak selalu dipahami dengan baik. Hari ini, bukanlah masalah.
Bandin
Saya berusia 43 tahun dan saya adalah anak ketiga dari
kepala desa, saya sudah menikah dan memiliki dua anak, dua anak laki-laki, satu
18 dan 11 tahun lainnya. Saya pernah ber sekolah, tetapi hanya di sekolah
dasar.
Aku meninggalkan desa saya pada tahun 2009, dan saya
ingin melihat sesuatu yang lain, jadi aku meninggalkan Malaysia selama 1 tahun.
Di sana saya membangun rumah, saya mendapat gaji lumayan,yaitu sekitar 5 juta
rupiah per bulan
Bandin
Saya pulang atas permintaan keluarga
saya karena ada masalah dengan kesehatan Bapak,dan karena saya anak laki laki
yang paling tua menurut tradisi sy yang harus mengurus bapak.
Namun sy tdk menyesal, walau sy
dapat sedikit uang ,sy merindukan desaku dan keluargaku walau sy disana dengan seluruh anggota keluarga,
sy hidup di kota besar dan sangat jauh dari pendidikan dan kebudayaan orang
orang kami.
Namun pulang kampung tdklah
mengganggu saya karena saya adalah pemburu yang hebat. Saya sudah membunuh 1000
babi dan 500 ekor rusa, di malaysia sy tdklah bisa berburu mungkin orang
berkata gila kalau sy berburu di sana.
Singgah
Ada tenggang rasa yang besar diantara kami perempuan, dan suami kami
mempunyai perhatian yang besar pada kami, tidak ada kekerasaan dalam, keluarga.
Laki laki iban tdk punyak hak memukul istrinya, karena perempuan iban
sangat dilindungi oleh hukum adat, jika ada, dendanya sangat berat, pertama dia
harus membayar paling sedikit 50.000 rupiah lalu dia membeli ayam lalu di masak
dan di bagikan ke setiap pintu rumah betang, rasa malulah yang akan dia rasakan
atas apa yg dia lakukan supaya lain kali tidak terulang lagi.
Di suku kami, kami tidak memukul anak anak pula, walau dia berbuat salah,
kami hanya memarahi dengan mulut.
Margaretha (istri guru )
Apa yang di
katgakan nenek singgah benar, beruntunglah kami selalu menjaga baik baik
tradisi kami, walau ada beberapa hal yang berubah, saya berumur 21 tahun saya
pikir lebih mudah hidup di jaman sekarang karena lebih mudah mendapatkan
uang, nenek kami dulu lebih sulita
mendapatkan uang, tapi saya sadar bahwa
dahulu kala kebutuhan hidup beda. Tidak ada listrik, televisi dan tdiak ada hp.
Namun mimpi saya
sangat sederhana, memiliki kondisi hidup yang lebih baik, supaya annak dan
suamiku lebih bahagia, namun di semua keadaan sebab kami merubah keadaan soisal
janganlah terjadi di tempat lain, tapi disini. Saya tdiak mau meninggalkan desa
ini, say ingin dekat dengan keluargaku,terus hidup dengan keluarga dan
kebudayaan kami, terus terang sy ingin tinggal disinisampai akhir hayat nanti.
Un homme sort de l’appartement numéro
huit, s’approche de Margaretha et dépose dans ses bras un bébé.
- Bon je te le
laisse, je fais un saut rapide au jardin puis après je vais l’école.
Saya tinggalkan
anak ini , saya mau ke kebun lalu saya
akan mengajar di sekolah.
Séquence 8 école
Min Supriadi arrache quelques herbes dans
sa petite plantation de caoutchouc.
Min supriadi
Saya berumur 26
tahun, dan saya memulai bersekolah disini, sampai selesai sekolah dasar, lalu
saya melanjutkan sekolah smp di desa lain yang terletak 45 menit dengan perahu,
saya tinggal sebulan dan sekali pulang.
Setelah itu
lanjut sma di kecamatan yang sama sampai tamat sma,
Karena tidak
ada guru di kampong jaung, pihak sekolah mempekerjakan saya sebagai guru
kontrak, dan sudah 5 tahun, sekarang ada guru lain, dia pns dan merangkap
kepala sekolah, namun kehadiranya sangat jarang sehingga tanggung jawab sekolah
dasar ada di pundak saya
Min Supriadi
Ada 5 kelas , saya mengajar di kelas 1,2
dan 3, rekan saya mengajar di kelas 4 dan lima, namun karena dia sering tdk
hadir saya mengajar di semua kelas,
Hanya ada 15 murid di desa ini, masalah
utama yang kami hadapi yaitu seringnya orang tua yang melarang untuk tdk ikut
sekolah secara sampai selesai, karena pada umur tertentu ana kanak bisa bekerja
(tangkap ikan atau lainya) dan medapatkan uang buat keluarga, sejak desa ini
ada hanya ada 3 orang salah satunya saya yang sampai di sma , lihatlah betapa
sedikitnya.
Cours dans la salle
de classe.
Min Supriadi
Saya guru
kontrak, gajiku 300.000 rupiah per bulan, kalau nanti saya jadi pns gaji saya
1.3 juta rupiah, tdk lama lagi karena harus enam tahun kontrak supaya diangkat
jadi pns.
Saya mengajar
pelajaran indonesia, dan tidak ada pelajaran budaya iban.
Selebhnya
saya menangkap ikan dan korek karet yang kami jual di jongkong, saya beternak
juga ayam, dengan penjualan karet gaji mengajar saya, saya bias mendapatkan
uang 1juta rupiah di rumah, untuk sementara waktu saya bahagia.
Mangku
Saya adalah tumenggung, artinya ketua adat di 3 desa yaitu
kepiat, jaung 1 dan jaung 2. Tumenggung adalah orang yang mengatur
dan membagi dan memecahkan masalah perselisihan warga desa, saya pula yang
menghakimi dan member sangsi.
Misalnya
ada orang yang sdh menikah pergi dengan lelaki lain yg juga sdh menikah, dia
harus bayar denda dengan uang, gong dan keramik ( sama hal dg mas kawin) untuk
tinggal dengan si perempuan, yang salah juga harus memberikan denda kepada
Séquence 10
construction pirogue
Julius Senin, l’homme
qui au début avait coupé l’arbre termine de façonner sa pirogue.
Julius
Senin
Saya
berumur 32 tahun, sy menikahi salah satu anak pak magku, saya lahir di desa
ini, sy sekolah sampai akhir kelas smp, karena sy sudah pernah sekolah saya
juga bermimpi hidup moderen, hidup di
kota besar, mengumpulkan sedikit uang, memiliki mobil, rumah.
Namun
sy lebih suka disini, alasan pertama karena sy tdk ingin mengambil resiko
mencari pekerjaan di tempat lain, terutama di tengah orang orang yg tdk di
kenal, walaupun sy dapat pekerjaan di luar, sy akan selalu pulang kampung.
Karena
di sini adalah tempat kami , disinilah tradisi kami rumpun keluarga dan
kebudayaan saya, apalagi sy merasa aman, lalu megapa sy bermimpi di tempat
lain.
Mengenai
perkebunan, kami memiliki tradisi dan ritual budaya iban, misalnya ketika kita
akan menanam sesuatu pertama tama kita harus memberi makan tganah.
Kami memiliki
ritual yang namanya mujamenuang,kami menaruh dalam piring beras ketan, sirih,
kapur, telur ayam kampung kemudian kami menuangkan air tuak, kemudian dengan
menggunakan kaki ayam hidup yang mencapurkan semuanya
Ketika
proses meberi makan tanah selesai, kita harus mengorbankan seekor ayam dan babi
kemudian kami membuka hatinya, semua
orang yang di rumah betang akan melihat keadaan hati babi tersebut, jika
keadaan hati babi dalam keadaan baik biasanya sawah ladang akan menghasilkan
banyak hasil yang bagus
Sebenarnya ini di lakukan hanya untuk
meyakinkan petani, karena walaupun ada tanda seakan panen kurang, kami tetaplah
menanam
Séquence 11 Hévéa
Jerman accompagné de
son père Randin saigne artisanalement un hévéa
Jerman
Saya
berumur 18 btahun sy sudah meniahi ula dan kami belumlah memiliki anak saya
anak pak bandincucu dari pak mangku
Ketika
saya denggan orang tua di malaisia sy kesepian, kami hidup di kota besar dengan
gaya hidup moderen, namun saya merindukan desa saya, sy bahagia ketika pulang
kampung, walaupun masih muda sy merasa disinilah hidupku.
Kami
hidup di desa ini seperti nenek moyang kami, artinya dekat dengan alam, disini
sy bisa mancing, berburu di hutan, dsb, lihatkan buat sy ini yg terpenting ini
adalah konsep kebahagian yg nyata
Séquence 12 soir télé
et vin de palme
Dans une salle de la
longhouse un groupe à la tête duquel se trouve Mangku regarde la télé en
sirotant du vin de palme.
Mangku
Desa kami bukanlah dalam kawasan lindung
danau sentarum namun di batas seperti desa lain sebagai desa atau daerah
penyangga.
Dalam
rumah seorang laki laki melihat televisi, karena mungkin pengaruh kekuatan
alkohol « siangalai burung, singalai burung »
Mangku se tourne vers
moi et avec un grand sourire et me précise :
«
singalai burung adalah semacam burung elang yang melambangkan apabila orang
berangkat perang dan mendengarkan teriakan burung ini, bertanda bagus untuk
berperang .
Kami masih memiliki kepercayaan dulu, namun
kami semua penganut katolik dan kami pergi ke gereja secara teratur, hal ini
bukanlah masalah sebagai seorang katolik walau berada di negara terbesar
pemeluk islam kami tetap jalan dengan kepercayaan kami
Séquence 13 tatouage
Tradition autour des
tatouages (séquence à déterminer sur place)
Mangku
Un proverbe
Iban affirme que le soir dans le lit d’une femme un homme qui n’est pas tatoué,
n’est pas un homme, m’affirme Mangku avec un petit sourire
complice.
Il faut que
tu saches que le tatouage fait partie intégrante de notre vie, le bejalai, tel
qu’il est nommé, était assimilé à l’origine à un voyage, une sorte d’expérience
initiatique.
A chaque
tâche maîtrisée et à chacun de ses retours au village, un jeune guerrier
ajoutait un tatouage à son corps, à un emplacement bien défini, une espèce de
support visuel illustrant ses récits d’aventure ou hauts faits.
D’ailleurs,
il y a encore aujourd’hui beaucoup de gens qui quittent temporairement le
village pour aller travailler ailleurs, ici ça représente 1/5ième de la population, aujourd’hui il y a quelques
20 personnes du village qui travaillent ailleurs actuellement. Mais l’attache
est forte, ils reviennent très régulièrement auprès leur famille.
Par le
passé un jeune Iban obtenait son tout premier tatouage à l’âge de 10-11 ans, il
représentait une fleur d’aubergine dessinée sur chaque épaule, et symbolisait
le début de son voyage d’homme.
Aujourd’hui
la tradition se perpétue, on continue toujours à se tatouer, notre corps peut
aussi devenir un vrai journal pour qui sait lire les signes…
Regarde le
tatouage que j’ai sur le cou, il veut dire que je suis ou plutôt que j’ai été
chef de village.
Séquence 14 miel
Lanyau marié avec la
petite sœur du chef, fait partie de ceux qui vont chercher le miel.
Il attache une corde
autour du tronc, grimpe dans l’arbre, brule des écorces d’arbre pour enfumer
les abeilles, il récupère le miel et le descend avec un cordon.
Lanyau
Depuis
longtemps, le miel fait partie de la vie des Ibans, comme beaucoup d’autres
produits naturels issus de la forêt. Nous le recueillons dans des nids
d’abeilles sauvages perché à 30/40 mètres de hauteur dans les arbres que l’on
appelle « Lalau ».
Cette
tradition est en train de disparaitre car aujourd’hui rare sont ceux qui
maîtrise encore le timang lalau, les mantras du miel, des formules sacrées qui
sont liées à la croyance selon laquelle des esprits ou des forces invisibles
veillent sur la nature et les arbres.
Et puis
pour monter, il faut de l’audace et de la détermination, car un arbre peut
abriter plus d’une vingtaine de nids, et chaque nid peut contenir quelques
10 000 abeilles.
Et puis
avant de monter recueillir le miel, il faut obtenir la permission de l’esprit
gardien en chantant :
« L’aiguille
cède, la couture cède aussi, la petite civette franchit la racine. En grimpant
les mollets tremblent d’émotion, nous les grimpeurs sommes encore des
apprentis. »
Séquence 15 herbe
médicinal
Singah accompagné par
un groupe de femme cherche des herbes médicinales dans la forêt.
Singah
On part
souvent en forêt pour chercher toutes sortes de plantes pour se soigner.
Cela fait
partie de nos tradition, et puis tu as vu ici, il n’y a pas de véritable
système de santé. Moi par exemple je ne suis pas sage-femme, mais régulièrement
j’assiste la chamane pour les accouchements. Mais on se passe très souvent
d’elle si l’accouchement se déroule sans problème. Je le pratique aidée par
deux autres femmes de la longhouse.
On trouve
toute sorte de plantes et notamment du Gambier me glisse-t-elle ironique. Le
Gambier est un puissant remède naturel pour lutter contre l’éjaculation
précoce.
Mais pas
seulement car cette plante est traditionnellement apprécié pour ses propriétés
toniques et astringentes, on l’utilise pour traiter brûlure, toux, coupures
etc.
Pourtant aujourd’hui,
surtout en Europe et dans toute l’Asie du Sud-Est, le Gambier est mieux connu
pour ses propriétés aphrodisiaques. Ainsi, il permet de
prolonger l’activité sexuelle chez l’homme et apporte la satisfaction que
souhaite partager un couple.
Séquence 16 Oran
Outang, palmier à huile et fin
Mangku dans la forêt
nous raconte la légende fondatrice qu’ils ont vis-à-vis des Orang outangs et ce
qui a amené le peuple Iban à les protéger.
Mangku
Je ne sais
pas si tu pourras en voir aujourd’hui, mais comme nous les avons toujours
protégé, il y a beaucoup d’Oran Outang ici, on en voie très souvent, pendant la
saison des fruits certains viennent même jusqu’à l’orée du village.
Nous avons
plusieurs légendes autour de l’animal dont la principale est celle-ci :
Il était
une fois un Iban qui se prénommait Irek qui partit au jardin. En chemin il
entend une voix bizarre, n’écoutant que son courage, il se dirige vers elle…
Derrière un
buisson il aperçoit une femelle Orang Outang en train d’accoucher, la femelle
se rend compte qu’elle est épiée. Elle somme Irek de ne pas rester ici, mais
lui précise qu’elle voudra bien lui parler, une fois l’accouchement terminé.
Irek exécute l’ordre de la femelle et vient prendre conseil auprès d’elle une
fois l’accouchement terminé.
Ayant vu et
surtout ayant écouté les explications de la femelle, Irek se rend compte qu’un
accouchement peut se dérouler normalement et surtout naturellement.
Car jusqu’à
ce jour toutes les femmes Ibans accouchaient uniquement par césarienne, la
femelle lui enseigne aussi qu’il faut aussi couper le cordon avec un morceau de
bambou pour éviter toute infection et qu’après on massera le ventre du bébé
avec du gingembre.
Irek s’est
par la suite, empressé de rentrer au village pour expliquer à toutes les femmes
ce qu’il avait vu et surtout entendu. Et depuis ce jour toutes les femmes Ibans
accouchent normalement, par voie
naturelle.
C’est pour
cette raison que l’on protège les Orang Outangs, nous nous sentons redevable
vis-à-vis d’eux à cause de cette histoire.
Si par
malheur quelqu’un de la communauté, tuait par accident un Oran Outang nous nous
devrons de lui faire une cérémonie et une sépulture comme pour un être humain.
Si
quelqu’un d’une autre communauté, autre que celle des Ibans tue un Oran Outang,
il sera puni par nous, il devra verser à la communauté une somme avoisinant les
cinq millions de Rupiahs et se charger des obsèques de l’animal.
Tu vois
cette forêt et ceux qui y vivent sont un peu l’âme de notre peuple, la détruire
serait un énorme préjudice pour nous, mais aussi pour les autres humains.
Pourtant,
il y a un fléau qui nous guette dans la région, c’est la prolifération des
plantations de palmiers à huile, ils bouffent littéralement la forêt.
Ici il est
hors de question que nous vendions nos terres pour ce type d’exploitation, nous
voulons garder notre forêt, même si on nous propose beaucoup d’argent. Et si on
venait à insister pour cela, crois-moi, il y aurait des violences !
C’est vrai
qu’il nous arrive de couper la forêt pour avoir de nouveaux terrains mais on
fait cela avec une grande connaissance, celle de sa régénération, qui nous a été
transmise par nos ancêtres. Comme eux, nous souhaitons que nos générations
futures puissent aussi profiter de cette forêt.
Pour éviter
un surcroit de destruction des arbres, nos champs déjà existant sont protégés
et toujours mis en jachère. Et pour que la terre se fertilise à nouveau
correctement, la jachère doit durer cinq ans.
L’exploitation
du champ ne dure elle qu’un an, donc si tu comptes bien, il nous faut à chacun
cinq champs pour avoir une récolte annuelle permanente avant que l’on ne
revienne planter à nouveau sur le premier.
Certains
qui sont plus démunis et qui possède que trois champs s’adaptent et effectuent
une jachère que sur trois ans.